Divestasi 51% Saham Freeport Penuh Kejanggalan, Fahri Hamzah Setuju DPR Gunakan Hak Angket 

Divestasi 51% Saham Freeport Penuh Kejanggalan, Fahri Hamzah Setuju DPR Gunakan Hak Angket 

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai wajar kalau DPR akan menggunakan Hak Angket nya untuk penyelidikan divestasi atau pembelian 51 persen saham PT Freeport oleh pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

"Usulan Hak Angket, saya duga pasti terjadi. Kalau pun tidak pada periode ini, tetapi pada periode mendatan. Itu wajar lah,” sebut Fahri Hamzah dihubungi wartawan, Kamis (27/12/2018).

Hak Angket, menurut politisi dari PKS itu adalah mekanisme DPR untuk menemukan kebenaran dari kecurigaan yang begitu banyak, mengingat divestasi tersebuti penuh dengan kejanggalan, sehingga memunculkan kecurigaan.


"Nah, kejanggalan dalam divestasi itu pasti mendatangkan penggunaan Hak Anget oleh DPR, dan saya setuju supaya kita memiliki ketenangan dalam penggunaan keuangan negara dan kewenangan di dalam negara," tegasnya.

Fahri mengungkapkan bahwa saat kampanye pada pilpres 2014 lalu, Jokowi tidak pernah membuat janji politik tentang pembelian saham Freeport, tapi yang menjadi janji politik waktu itu adalah akan membeli kembali saham Indosat.

"Lagi pula freeport itu akan berakhir 2021 dan diawal-awal pemeritahannya, Jokowi berjanji atau mengatakan tidak akan menyentuh saham Freeport itu karena negosiasi baru bisa dimulai 2019," bebernya.

Sebenarnya, menurut Fahri, secara periodik itu memiliki makna positif, karena hanya presiden baru yang akan dilantik 2019 lah yang bisa melakukan perpanjangan atau negosiasi perpanjangan. Sementara presiden-presiden sebelumnya bertugas untuk  mengelaborasi data-data teknisnya.

"Tetapi kemudian ada lompatan, dan lompatan ini sangat mencurigakan karena tidak saja pola ini sebenanrya sudah sering terjadi, dan berakhir dengan keriguian dipihak Indonesia," kata dia.

Apa yang terjadi dengan Newmont misalnya, lanjut Anggota DPR dari dapil NTB itu, nanti polanya persis sama. Dimana, pemerintah seolah-olah membeli, padahal sebenarnya itu diberi hutang dan pemberian hutang itu nanti berakibat adanya kepemilikan semu.

"Seolah-olah kita memiliki, tetapi sebenarnya tidak. Itulah yang terjadi dengan Inalum. Apalagil Inalum ini BUMN baru dan bahkan saya waktu menjadi anggota Komisi IV DPR dulu, Inalum itu belum masuk pembahaan karena baru dibeli oleh pak SBY diakhir periode pemerintahannya," tuturnya.

Inalum itu, sebut Fahri Hamzah lagi, bukan perusahaan yang punya kekuatan untuk membeli, apabila tidak ada semacam perjanjian politik tertentu dibelakang semua ini, antara pemerintah dengan pemberi hutang maupun perusahaan yang diakuisisi.

"Jadi, sekarang kita tahu bahwa yang disebut 51 persen itu adalah kepemilikan yang sepenuhnya dibeli dengan hutang. Kemungkinan hutangnya diberikan kepada pihak yang membeli, sehingga sebenarnya tidak ada pengambilalihan saham secara mutlak. Tetapi citranya begitu, istilahnya ini pakai nama," sindirnya.

Hal ini lah yang menurut Fahri harus dibongkar, karena tidak saja pembelian tersebut punya kemungkinan kebohongan politik dan kebohongan publik, tetapi juga ada kerugian negara yang besar sekali.

"Harusnya, kalau kita menunggu sampai 2021, petanya tidak akan begini," pungkas Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu.